Review Komik Chainsaw Man. Pada 19 Oktober 2025 ini, saat hembusan angin musim gugur membawa aroma daun kering di Tokyo, Chainsaw Man kembali menggebrak layar lebar dengan movie Reze Arc yang baru saja pecahkan rekor box office lebih dari 50 juta dolar secara global. Trailer terbarunya, yang dirilis seminggu lalu, penuh ledakan visual dan soundtrack energik dari band rock legendaris, membuat fans manga asli bernostalgia sekaligus haus akan kelanjutan. Karya Tatsuki Fujimoto, yang manga part satu tamat pada 2020 dan part dua masih bergulir di chapter 140-an, bukan sekadar cerita devil hunter; ia adalah campuran liar antara kekerasan absurd, humor gelap, dan romansa tak terduga. Di tengah hype movie yang tayang di 13 negara Asia dan segera mendarat di Amerika pada 24 Oktober, review ini kupas esensi komiknya secara ringkas: dari plot yang bikin nagih hingga seni yang ikonik. Chainsaw Man tak pernah biasa—ia adalah rollercoaster emosi yang santai di permukaan, tapi dalam seperti jurang kutukan. BERITA BOLA
Plot yang Absurd: Dari Hutang ke Pertarungan Devil Gila: Review Komik Chainsaw Man
Premis Chainsaw Man sederhana tapi genius: Denji, pemuda miskin berhutang seumur hidup, gabung Public Safety Devil Hunters untuk bayar tagihan almarhum ayahnya. Saat ia merger dengan devil Chainsaw Pochita, tubuhnya jadi senjata hidup—kepala gergaji raksasa yang haus darah. Dari situ, cerita meluncur liar: misi sehari-hari lawan devil sepele seperti Tomato Devil berubah jadi arc besar seperti International Assassins, di mana Denji dikejar pembunuh global karena kekuatannya. Fujimoto pintar bangun ketegangan bertahap—part satu fokus survival remaja, penuh twist seperti pengkhianatan teman yang bikin hati hancur, sementara part dua di Academy Saga geser ke misteri sekolah penyihir dengan elemen konspirasi lebih dalam.
Update mid-2025 tunjukkan part dua makin intens: chapter terbaru eksplor fallout dari arc sebelumnya, dengan Denji bergulat identitas barunya sebagai Chainsaw Man yang ditakuti. Tak ada filler; setiap panel dorong plot maju, campur aksi brutal—seperti ledakan darah saat gergaji potong devil—dengan momen absurd seperti Denji makan onigiri sambil ngobrol filosofi hidup. Tema sentralnya? Kemanusiaan di tengah kekacauan: devil lahir dari ketakutan manusia, jadi cerita ini metafor nyata untuk trauma sehari-hari. Bagi pembaca baru, mulai dari volume satu mudah, tapi hati-hati—sekali terjun, susah keluar dari pusaran plot yang tak terduga ini.
Karakter yang Tak Terduga: Denji dan Lingkaran Gila Sekitarnya: Review Komik Chainsaw Man
Apa yang bikin Chainsaw Man beda adalah karakternya—bukan hero mulia, tapi orang biasa dengan nafsu dasar yang relatable. Denji, protagonis utama, mimpi sederhana: makan enak, tidur nyenyak, pegang dada wanita. Bukan pahlawan haus kekuasaan, ia jadi Chainsaw Man karena kepepet, dan perjuangannya penuh kontradiksi—keras kepala tapi polos, brutal tapi penyayang. Ini ciptakan arc emosional kuat, terutama saat ia kehilangan orang dekat, yang bikin pembaca campur antara tertawa dan menangis.
Pendukungnya tak kalah liar: Aki Hayakawa, partner awalnya, wakili tema balas dendam dingin yang retak pelan-pelan; Power, devil darah yang egois tapi lucu, bawa comic relief absurd seperti saat ia bohong soal kucing peliharaan. Di part dua, karakter baru seperti Asa Mitaka tambah lapisan—gadis biasa yang merger dengan War Devil, ciptakan dinamika rivalitas romantis dengan Denji yang bikin deg-degan. Villain seperti Makima, bos misterius di part satu, adalah puncak kompleksitas: manipulatif tapi karismatik, dorong debat etika yang dalam. Fujimoto hindari stereotip; setiap orang punya sisi gelap, membuat interaksi mereka terasa nyata. Di 2025, saat movie Reze Arc perkenalkan villain wanita baru yang memikat, karakter ini siap jadi ikon lagi—santai, tapi tinggalkan bekas mendalam di hati pembaca.
Seni dan Narasi: Gaya Fujimoto yang Brutal tapi Jenius
Seni Tatsuki Fujimoto adalah pesta visual yang tak tertandingi: garis tebal dinamis untuk aksi cepat, seperti panel gergaji Denji berputar yang bikin halaman terasa bergerak. Devil digambarkan absurd—dari bentuk lucu seperti Zombie Devil yang kartunish, hingga horor seperti Darkness Devil yang abstrak dan mencekam. Kontras ini genius: kekerasan grafis dicampur humor slapstick, seperti darah muncrat saat Denji bilang “Sial, lapar lagi.” Narasi tak linear; flashback pendek sisip di tengah chaos, bangun backstory tanpa bikin pacing lambat, mirip film Tarantino versi komik.
Di part dua, seni berevolusi—lebih halus di momen introspeksi Asa, tapi tetap brutal di pertarungan, dengan panel splash penuh detail anatomi yang bikin merinding. Fujimoto main dengan perspektif unik, seperti sudut pandang first-person saat Denji panik, tingkatkan imersi. Kekurangannya? Hiatus sporadis Fujimoto bikin fans gelisah, tapi hasilnya selalu worth it—chapter 140-an mid-2025, misalnya, punya twist visual yang ubah persepsi seluruh arc. Secara keseluruhan, gaya ini tak cuma estetik, tapi naratif: seni dukung tema absurditas hidup, di mana horor dan tawa saling bergantian. Bagi penggemar shonen, ini upgrade level—brutal tapi elegan, absurd tapi bermakna.
Kesimpulan
Chainsaw Man, dari manga part satu yang revolusioner hingga part dua yang makin dalam di Oktober 2025, adalah karya Tatsuki Fujimoto yang ubah wajah genre supernatural. Plotnya menggila, karakternya tak terduga, seninya jenius—semua campur jadi paket adiktif yang eksplor kemanusiaan lewat lensa devil. Di tengah box office movie Reze Arc yang meledak dan antisipasi chapter baru, komik ini ingatkan: hidup penuh kutukan, tapi juga peluang gila untuk bertahan dengan cara sendiri. Bagi pemula, ambil volume satu sekarang; bagi fans lama, sabar tunggu hiatus berikutnya. Santai aja, tapi siap: Chainsaw Man tak pernah berhenti menggergaji ekspektasi. Fujimoto telah ciptakan legacy yang berdarah, tapi abadi.